Upaya Genosida Iran Menghabisi Muslim Sunni Arab


Iran's attempted genocide of the Sunni Arabs

by Tallha Abdulrazaq
(Jurnalis Middle East Monitor)

Serangan militer terhadap Mosul di Irak dan Aleppo di Suriah tidaklah berbeda dan terpisah seperti yang dibayangkan sebagian besar warga dunia.    
               
Memang benar, dua kota tersebut terpisah dan berada di dua negara yang berbeda. Memang benar, pasukan keamanan Irak berseteru dengan kelompok militan Daesh (ISIS), sementara tentara Arab Suriah yang tersisa dari Tentara Arab Suriah memerangi kumpulan faksi oposisi Suriah yang telah bersatu di bawah panji-panji "Pasukan Tentara Aleppo". Ya, memang benar bahwa Rusia terlibat dalam penghancuran Suriah sementara Amerika Serikat terlibat dalam penghancuran Irak. Tapi jangan tertipu. Iran adalah sebuah negara yang satu konstan berada di kedua pertempuran tersebut, serta menjadi negara yang paling diuntungkan dari dua pertempuran tersebut. Sebuah pertempuran yang diupayakan untuk menghabisi kaum Arab Sunni.    
                
Kini sudah bukan rahasia lagi bahwa Iran dan para mullah telah menjadi pihak yang paling diuntungkan dari kekacauan yang dipicu rencana gila yang diinisiasi mantan Presiden George W Bush dan disetujui pemeritah  AS untuk mengekspor "monster demokrasi" ke Irak pada tahun 2003.

Syiah Iran, telah menginkubasi dan mengembangkan organisasi teroris sejak akhir 1970-an, dan berhasil menarik perhatian dengan membentuk kelompok kecil teroris seperti Iraqi Dawa Party yang bertanggung jawab atas serangan teroris di seluruh Irak, Kuwait, Lebanon, dan tempat-tempat lain, dan memasukkan mereka ke kantor pemerintahan tertinggi negara Irak. Perdana Menteri Haider Al-Abadi dan pendahulunya Nouri Al-Maliki disebut-sebut berasal dari partai yang sama, partai yang didukung Teheran.  
                 
Sebelum tahun 2003, hanya beberapa orang yang tahu perbedaan antara Sunni dan Syiah, bahkan bagi mereka yang tinggal di dunia Arab. Namun, setelah kelompok sektarianisme yang didukung Iran merajalela dan berakar di Irak, dan ribuan orqng tewas karena memiliki nama Sunni atau karena tinggal di daerah yang dianggap "suci" oleh Syiah Iran, dunia tiba-tiba mulai mengaitkan semua kekerasan dengan peristiwa yang terjadi lebih dari satu milenium lalu. Namun, masalah di Irak lebih berkaitan dengan politik kekuasaan dan ambisi Iran daripada isu-isu agama.                      

Tidak puas dengan kekuatan baru yang dimiliki dan pengaruh pada negara tetangga yang pernah menjadi lawannya, pemerintah di Teheran melanjutkan pesta pora dengan menjalin hubungan dengan rezim Suriah yang dijalankan oleh keluarga Assad. Iran meningkatkan dukungan bagi Hizbullah Lebanon - sebuah organisasi Syiah - dan sesekali menegaskan keberadaan mereka pada sumbu perlawanan, yang semestinya ditujukan untuk menolak ekspansi Israel. Tapi pada kenyataannya, Israel justru menjadi alasan untuk ekspansi Iran sendiri melalui proxy teroris seperti kelompok Hizbullah.

Kemesraan dan kemitraan strategis Iran dan Suriah menjadi penting ketika Revolusi Suriah meletus pada tahun 2011 (sebagai rangkaian Arab Spring -red) dan dengan cepat berubah menjadi ladang pembantaian setelah rezim Assad mulai membunuh warga sipil tak berdosa. Anak-anak, termasuk seperti bocah 13 tahun Hamza Al-Khateeb, yang dikembalikan ke keluarganya setelah dimutilasi pada 2011 oleh mukhabarat - polisi rahasia - Suriah yang menyiksa Hamza sampai mati.                    
Iran dan proxy-proxynya segera menunjukan kekuatan di balik kebiadaban yang dilakukan Bashar Al-Assad, dan melihat adanya kesempatan emas untuk menghabisi kaum Sunni Arab lebih lanjut melalui revolusi Suriah ini. Caranya, Iran menarik diktator Suriah lebih dalam lagi ke dalam "orbit" mereka dengan cara membuat Assad berhutang kepada para mullah. Tanpa bantuan Teheran -dan dalam satu tahun terakhir juga ada Rusia- hanya ada sedikit keraguan bahwa Assad telah dapat dihancurkan (dilengserkan) sejak lama. Dengan kata lain, keberadaan Teheran dan Rusia lah yang membuat Assad bertambah kuat.

Iran kini bertekad untuk melibas satu musuh yang dapat menghalangi rencana dan memusnahkan harapan bahwa "revolusi Islam Ayatollah Khomeini pada tahun 1979" dapat diekspor dan ditanamkan ke negara-negara tetangga. Musuh Iran, tentu saja, kelompok Arab Sunni yang mewakili demografi terbesar di seluruh wilayah semenanjung Arab.

Kelompok Arab Sunni, tidak berarti negara Arab Sunni seperti Arab Saudi atau Qatar. Negara-negara ini hanya sebuah entitas politik yang mewakili sebuah fragmen kecil dari kelompok "raksasa" Arab Sunni. Sebaliknya, Arab Sunni adalah sebagai sekelompok orang dan sebagai identitas.

Jika Arab Sunni bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri, daripada harus berurusan dengan penguasa lalim yang kini menjadi budak negara Barat yang bertentangan dengan kepentingan rakyat mereka sendiri, sangat diragukan bahwa Iran akan sekuat sekarang ini.                      

Iran sangat memahami kelemahan sebagian besar kelompok Arab Sunni. Dan kelemahan itulah yang akhirnya tak hanya menghancurkan benteng peradaban Arab Sunni seperti Mosul dan Aleppo, tetapi juga menghancurkan gagasan pokok dan identitas yang sesungguhnya menjadi Sunni Arab.

Sebagian besar dari jutaan pengungsi yang membanjiri Eropa dan negara-negara lain di seluruh dunia berasal dari Timur Tengah, baik negara Arab Sunni maupun negara Arab lainnya, adalah salah satu kampanye depopulasi massal terbesar dalam sejarah manusia. Lebih kecil, tapi tidak kurang menakutkan, contoh ini terjadi di seluruh kawasan, termasuk kelompok sektarian yang mendapat hukuman dari Iran dan pembersihan etnis yang dapat dilihat dengan jelas di tempat-tempat seperti Samarra di Irak, di mana Sunni sedang didorong keluar untuk menciptakan zona homogen Syiah dan menciptakan "koridor aman" yang membentang dari Iran, melewati Irak dan berada di dalam negara Suriah.                      

Iran melakukan semua kejahatan terhadap orang-orang Sunni Arab secara langsung melalui Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC/Pasukan Garda Revolusi) atau secara tidak langsung melalui banyak proxy-nya, dan menggunakan ekstremis Daesh (ISIS) sebagai topeng yang sempurna. Dengan klaim memerangi terorisme, para mullah menempatkan diri pada posisi nyaman dalam narasi umum yang kini kerap digunakan oleh kekuatan imperialis di seluruh dunia: klaim untuk memulihkan perdamaian dan ketertiban wilayah. Padahal mereka sesungguhnya merampok kebebasan dan mata pencaharian.

Coba tanyakan pada AS yang "berperang melawan teror" (war on terror) di Irak dan Afghanistan, yang akhirnya benar-benar berhasil menghancurkan dua negara tersebut.

Atau cobalah bertanya pada Rusia, yang mengklaim akan melakukan hal yang sama saat ini di Suriah sementara kini kenyataannya hanya membantai ribuan warga Suriah yang tidak ada hubungannya baik dengan terorisme atau politik.

Bahkan, Menteri Pertahanan AS, Jenderal James Mattis, mengidentifikasi Iran sebagai negara yang telah paling diuntungkan dari keberadaan Daesh (ISIS), meskipun dahulu (ISIS) adalah kelompok ekstremis Syiah dan kini menjadi ekstrimis Sunni.

"Saya menganggap Daesh hanya alasan bagi Iran untuk melanjutkan kenakalan nya," kata Mattis awal tahun ini.

"Satu-satunya negara di Timur Tengah yang belum diserang (oleh ISIS) adalah Iran," tuturnya

Sementara ini ada keraguan bahwa Amerika Serikat di bawah Presiden yang baru terpilih Donald Trump akan melakukan sesuatu yang substansial untuk mengurangi kebijakan luar negeri Iran yang terdiri dari ribuan kelompok yang masing-masing memiliki kepentingan. Keraguan ini juga sama kuatnya dengan ketidakyakinan bahwa para mullah akan mampu mempertahankan imperialisme mereka.

Sunni merupakan mayoritas penduduk di Timur Tengah, dan bahkan kehancuran kota Arab Sunni besar seperti Aleppo dan Mosul tidak akan cukup untuk menghapus Sunni dari keberadaan mereka, meski rezim fanatik Iran menyukai kehancuran dua kota tersebut.

Tak pelak, Arab Sunni -sebagai sekumpulan orang-orang dan tidak perlu membuat pernyataan mengenai identitas ke-Sunni-an mereka- akan bersatu untuk mendorong perlawanan yang mengancam keberadaan mereka dan genosida yang mereka hadapi dari kelompok sektarianisme Iran. Ketika waktu itu datang -dan pasti akan datang- rezim Iran akan menyesali hari saat mereka memutuskan untuk bergerak terlalu jauh ke barat dari pegunungan Zagros ke tanah Sunni Arab.***

___
*Diterjemahkan dari artikel asli: https://www.middleeastmonitor.com/20161209-irans-attempted-genocide-of-the-sunni-arabs/

Share on Google Plus

About Hanafi Idris

0 comments:

Post a Comment