Ketika pada jaman Susilo Bambang Yudhoyono, Tahun 2013 lalu, Kementerian Hukum dan HAM ingin mengusulkan agar pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden kembali disahkan dalam Rancangan UU KUHP, langsung mendapat reaksi penolakan keras, bahkan anggota Komisi III ketika itu, mengatakan jika usulan tersebut akan menjadi sia-sia.
Pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sendiri sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitutsi pada tahun 2006 lalu. Hal itulah yang membuat Eva Kusuma Sundari menolak dengan alasan jika MK sudah menolak, jika dipaksakan dengan menggunakan jalur Judicial Review dipastikan juga akan mengalami kegagalan, yang akhirnya tidak membuahkan hasil apapun.
Bahkan Eva Sundari yakin jika pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden kembali muncul, maka dipastikan akan muncul manusia-manusia penjilat, “Jadi ini banyak agenda yang terkesan menjilat. Kalau ini di sahkan, ya berarti kita balik lagi ke zaman Belanda. Dan itu akan menurunkan kualitas demokrasi kita dan Equality before the law,” ujar Eva ketika itu.
Namun berbeda ketika berganti penguasa. Ketika Presiden Jokowi bermaksud untuk mewnghidupkan kembali pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Eva Sundari selaku Politisi senior PDIP justru mendukung langkah yang akan diambil oleh Jokowi untuk mengaktifkan kembali pasal yang justru pernah dikatakan oleh Eva akan memunculkan manusia penjilat.
“Kenapa Presiden tidak boleh “mengajukan” ? Presiden juga manusia lho, walau dia presiden, simbol negara, tapi punya hati dan perasaan. Jadi ide tersebut masuk akal,” ujarnya membela Jokowi.
Namun bila dibandingkan dengan ucapan Eva Sundari Ketika masih dipimpin oleh Presiden SBY, sangat bertolak belakang, menurutnya jika Presiden menjadi sasaran caci maki itu merupakan sebuah resiko. ” Tapi bukan berarti ketika dia berkuasa dia tidak bisa dicaci maki. yang bisa dicaci maki hanya orang lain saja. Itukan lucu.”
Menurut Mohamad Naufal Dunggio, Ketua Lembaga Dakwah Khusus Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta, menjuluki Eva Sundari seorang “Penjilat”. Karena menurut Naufal seperti itulah gambaran Eva Sundari yang membela Jokowi untuk menghidupkan kembali RUU KUHP Pasal 265, yang menghukum seseorang selama 5 tahun dan denda sebesar Rp. 300 juta karena menghina presiden dan wakil presiden di muka umum.
“Jadi secara tidak langsung Eva Sundari sudah mendaulat dirinya sendiri sebagai seorang “Penjilat” kepada penguasa,” ujar Naufal, yang menganggap jika selain Eva masih banyak lagi penjilat – penjilat kepada penguasa senang jika pasal tersebut di ajukan kembali.
Pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sendiri sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitutsi pada tahun 2006 lalu. Hal itulah yang membuat Eva Kusuma Sundari menolak dengan alasan jika MK sudah menolak, jika dipaksakan dengan menggunakan jalur Judicial Review dipastikan juga akan mengalami kegagalan, yang akhirnya tidak membuahkan hasil apapun.
Bahkan Eva Sundari yakin jika pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden kembali muncul, maka dipastikan akan muncul manusia-manusia penjilat, “Jadi ini banyak agenda yang terkesan menjilat. Kalau ini di sahkan, ya berarti kita balik lagi ke zaman Belanda. Dan itu akan menurunkan kualitas demokrasi kita dan Equality before the law,” ujar Eva ketika itu.
Namun berbeda ketika berganti penguasa. Ketika Presiden Jokowi bermaksud untuk mewnghidupkan kembali pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Eva Sundari selaku Politisi senior PDIP justru mendukung langkah yang akan diambil oleh Jokowi untuk mengaktifkan kembali pasal yang justru pernah dikatakan oleh Eva akan memunculkan manusia penjilat.
Namun bila dibandingkan dengan ucapan Eva Sundari Ketika masih dipimpin oleh Presiden SBY, sangat bertolak belakang, menurutnya jika Presiden menjadi sasaran caci maki itu merupakan sebuah resiko. ” Tapi bukan berarti ketika dia berkuasa dia tidak bisa dicaci maki. yang bisa dicaci maki hanya orang lain saja. Itukan lucu.”
Menurut Mohamad Naufal Dunggio, Ketua Lembaga Dakwah Khusus Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta, menjuluki Eva Sundari seorang “Penjilat”. Karena menurut Naufal seperti itulah gambaran Eva Sundari yang membela Jokowi untuk menghidupkan kembali RUU KUHP Pasal 265, yang menghukum seseorang selama 5 tahun dan denda sebesar Rp. 300 juta karena menghina presiden dan wakil presiden di muka umum.
“Jadi secara tidak langsung Eva Sundari sudah mendaulat dirinya sendiri sebagai seorang “Penjilat” kepada penguasa,” ujar Naufal, yang menganggap jika selain Eva masih banyak lagi penjilat – penjilat kepada penguasa senang jika pasal tersebut di ajukan kembali.
0 comments:
Post a Comment