Selesai melakukan isi ulang tiket perjalanan kereta api di 'vending machine' KRL Commuter Line Jabodetabek, keluarlah uang kembalian pecahan 'gocengan' baru (Rp 10.000).
Jujur... meski sudah beberapa hari beredar, dan saya sendiri bekerja di perbankan (syariah), baru hari ini saya memegang uang pecahan baru tsb. *norak banget dah... :D
Saya pandangi dan amati dengan seksama sosok tokoh di lembaran uang tsb, yang tak lain dan tak bukan adalah KH. Idham Chalid. Sosok Ulama yang Umara dan Umara yang Ulama.
Sebagai Ulama, beliau merupakan ketua PBNU yang terpilih dalam usia yang sangat muda (34 tahun) yang menjabat sejak tahun1954-1984 (28 tahun) dan merupakan ketua PBNU terlama dalam sejarah ormas Islam terbesar di Indonesia tsb.
Sebagai Umara, beliau pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR dan Ketua DPR.
Tiba-tiba saya teringat kisah yang seringkali diceritakan oleh para ustadz ketika menggambarkan ttg indahnya ukhuwah dan tasamuh (toleransi) yang terjadi diantara para ulama.
Syahdan, dulu KH. Idham Chalid (Pimpinan PBNU) pernah satu kapal dengan Buya Hamka (tokoh Muhammadiyah) dengan tujuan yang sama menuju tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Tidak ada kisah istimewa dari kedua tokoh berbeda paham tersebut hingga waktu shalat Shubuh menjelang.
Di saat hendak melakukan shalat Shubuh berjamaah, KH. Idham Chalid dipersilakan maju untuk mengimami. Secara tiba-tiba, pada rakaat kedua, KH. Idham Chalid meninggalkan praktek Qunut Shubuh, padahal Qunut Shubuh bagi kalangan NU seperti suatu kewajiban. Semua makmun mengikutinya dengan patuh. Tak ada nada protes yang keluar walau ada yang mengganjal di hati.
Sehingga seusai salat Buya Hamka bertanya: "Mengapa Pak Kyai Idham Chalid tidak membaca Qunut."
Jawab KH. Idham Chalid: "Saya tidak membaca doa Qunut karena yang menjadi makmum adalah Pak Hamka. Saya tak mau memaksa orang yang tak berqunut agar ikut berqunut." Subhanallah...
Keesokan harinya, pada hari kedua, Buya Hamka yang giliran mengimami shalat Shubuh berjamaah. Ketika rakaat kedua, mendadak Buya Hamka mengangkat kedua tangannya, beliau membaca doa Qunut Shubuh yang panjang dan fasih. Padahal bagi kalangan Muhammadiyah Qunut Shubuh hampir tidak pernah diamalkan.
Seusai shalat, KH. Idham Chalid pun bertanya: "Mengapa Pak Hamka tadi membaca doa Qunut Shubuh saat mengimami salat?"
"Karena saya mengimami Pak Kyai Idham Chalid, tokoh NU yang biasa berqunut saat shalat Shubuh. Saya tak mau memaksa orang yang berqunut untuk tidak berqunut," jawab Buya Hamka.
Akhirnya kedua ulama tersebut saling berpelukan mesra. Jamaah pun menjadi berkaca-kaca menyaksikan kejadian yang mengharukan, air mata tak dapat mereka tahan.
Saat ngaji di masa kecil dulu, kisah ini juga sering dijadikan jawaban oleh ustadz ketika ada yang bertanya hukum membaca doa qunut pada sholat Subuh.
"Yang baca doa qunut, benar sholat subuhnya. Yang tidak baca doa qunut juga benar sholat subuhnya. Yang salah adalah yang tidak sholat subuh," begitu kata pak ustadz. :)
Bagi kita saat ini, kisah tsb juga mengandung pelajaran yang sangat berharga. Bahwa perbedaan ormas, partai, mahdzab, jamaah, atau apapun namanya, jangan sampai membuat kita berpecah belah dan bermusuhan.
Sebab musuh kita yang sesungguhnya adalah:
1. Mereka yang menistakan agama.
2. Orang-orang kafir yang memerangi kita.
3. Asing dan aseng yang merampok kekayaan negeri.
[Catatan pulang kerja di malam Jum'at terakhir di tahun 2016]
(by ERWIN)
0 comments:
Post a Comment