Oleh: Fajar Arifianto
Saya cukup mengikuti konflik antara petinggi PKS dengan Fahri Hamzah yang akhirnya masuk ke ranah pengadilan. Ketertarikan saya karena dua sebab. Pertama, ini kasus konflik pertama yg dialami PKS secara terbuka dan menjadi isu publik luas. Dan akhirnya memasuki penyelesaian melalui jalur hukum. Kedua, kasus ini dialami oleh partai kader yang kuat norma kepatuhan dan ketaatan dalam organisasinya.
Putusan hukum di PN sudah keluar yg memenangkan gugatan Fahri. Pihak tergugat - 4 petinggi PKS - mengajukan banding. Proses hukum lanjutan masih akan panjang. Paling cepat satu tahun. Tapi saya akan menyoroti kasus konfik ini dalam kaitannya dengan bagaimanakah kadar kepemimpinan PKS saat ini.
Apa yang bisa saya tangkap dari dinamika kasus ini? PERTAMA, nampak jelas bahwa jajaran pimpinan PKS gagap dalam mengelola konflik. Mungkin mereka tidak pernah terpikir akan menghadapi situasi ini. Gagap dalam mengganti Fahri sebagai wakil ketua DPR, gagap dalam menyikapi resistensi Fahri thd rencana pergantian, gagap dalam mengelola proses hukum, gagap dalam mengelola politik DPR untuk mendapatkan dukungan fraksi-2 dalam pergantian Fahri, dan juga gagap dalam mengkondisikan kegelisahan kader-2nya.
Saya jadi membayangkan kegagapan macam apa yg akan dialami jajaran pimpinan PKS jika mengalami konflik yang lebih besar? Atau kegagapan seperti apa jika PKS berkuasa dan berhadapan dengan konflik dari lawan-2 politiknya?
Analisis saya, kegagapan ini bersumber dari belum membuminya jajaran pimpinan PKS dalam berpolitik praktis. Mereka masih bekerja di wilayah normatif dan idealistik. Sementara lapangan pertarungan politik adalah sesuatu yg nyata. Maka tak heran saya membaca kemasygulan Tifatul Sembiring yang bingung kok Setya Novanto begitu mudah turun dan naik lagi dari kursi ketua DPR, sementara PKS susah benar mengganti seorang Fahri.
KEDUA, kasus ini menunjukkan belum utuhnya jajaran pimpinan PKS dalam menerima sistem hukum nasional sebagai acuan dalam berorganisasi. Misalnya dengan pernyataan Surahman Hidayat bahwa aturan organisasi PKS tidak bisa (boleh) diintervensi oleh hukum negara. Mungkin pikiran inilah yg membuat mereka mengambil keputusan memecat Fahri tanpa mengikuti peraturan perundang2an yg ada.
Sebaliknya Fahri sedang menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa PKS harus tunduk pada sistem hukum dan peraturan perundangan2an. Mungkin Fahri juga sedang mengajarkan hal yg sama kpd jajaran pimpinan PKS.
KETIGA, kesulitan PKS mencopot Fahri dari posisi wakil ketua DPR, juga menunjukkan lemahnya kualitas mengeksekusi agenda politiknya. Mereka mungkin berpikir hal itu hanya selesai dengan secarik kertas. Apakah naik dan turunnya Setya Novanto dari kursi ketua DPR hanya dengan secarik kertas? Pastinya tidak. Ada penggalangan dukungan di internal partainya, ada lobbi-2 ke berbagai partai, pengkondisian ke MKD DPR, dan bahkan lobbi atau kesepakatan dengan pihak istana. Tidak sederhana.
Apa yg dialami PKS dengan keluguan politiknya? Fahri tidak bisa dicopot, calon penggantinya Ledya Hanifa tak kunjung dilantik tapi sudah diganti dari posisi wakil ketua Komisi 8, lalu kursi ketua MKD yg diduduki Surahman Hidayat malah hilang entah kemana. Upaya PKS menyuarakan kembali pergantian FH di sidang paripurna saat pergantian Ade Komarudin kepada Setya Novanto juga bertepuk sebelah tangan. Tak ada fraksi-2 yg merespon. Malah belakangan PKS mendukung usul PDIP untuk bisa duduk di kursi pimpinan DPR dan MPR, tanpa ada konsesi apapun. Alamak....
KEEMPAT, saat awal konflik dengan Fahri, jajaran pimpinan PKS berupaya mendekat ke Jokowi. Isu akan bergabung dengan istana pun menguat dan sontak menuai kegelisahan di kalangan kadernya. Tapi buru-2 presiden PKS, Sokhibul Iman menegaskan bahwa PKS tidak akan berkoalisi. Akhirnya pedekate inipun gagal total.
Saya membayangkan jika PKS saat itu benar-2 gabung dengan istana, maka dalam kasus Ahok, PKS akan makin mati angin. Tersandera total. Tanpa berkoalisi dengan istana saja, PKS dalam kasus Ahok tidak terlihat taringnya.
0 comments:
Post a Comment