Oleh: Dr. Arief Munandar, Sosiolog Universitas Indonesia
Keputusan PN Jaksel yang mengabulkan sebagian gugatan Fahri (14/12) tidak terlampau mengagetkan saya. Jauh hari sebelumnya, indikasi keberpihakan sudah terlihat. Majelis hakim mengabulkan permohonan provisi penggugat tanpa terlebih dahulu mendengarkan jawaban tergugat. Ini melanggar asas audi et alteram partem, keharusan mendengarkan semua pihak secara seimbang dan sejajar. Keputusan ganti rugi 30 milyar juga menimbulkan tanda tanya besar. Hakim tidak merinci kerugian apa saja yang harus ditanggung-renteng para tergugat sehingga muncul angka tersebut.
Dalam demokrasi yang sudah kita pilih sebagai mekanisme kehidupan berbangsa dan bernegara, partai politik adalah pilar utama yang harus dikokohkan kedudukan dan perannya. Keputusan PN Jaksel tersebut justru mengancam independensi parpol dalam menegakkan disiplin anggotanya. Hal ini sangat disayangkan, karena parpol adalah entitas idelogis yang hidup di atas nilai-nilai dasar yang dimanifestasikan dalam AD/ARTnya, sehingga keselarasan para anggota dengan nilai-nilai dasar tersebut adalah keharusan.
Dalam mengadili kasus gugatan Fahri, majelis hakim seakan-akan mengabaikan UU Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik yang mengatur tatacara penyelesaian perselisihan internal parpol. Merujuk kepada ketentuan tersebut, keputusan partai yang didasarkan pada AD/ART yang disahkan Kemenkumham adalah sah menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia. Di samping itu, fakta-fakta persidangan, di mana seluruh alasan gugatan Fahri telah dibantah oleh saksi-saksi dan bukti-bukti yang diajukan oleh tergugat, seolah diabaikan.
Namun keliru jika dikatakan keputusan PN Jaksel tersebut merupakan kekalahan DPP PKS. Sebaliknya, ini adalah peluang untuk menunjukkan konsistensi dan persistensi dalam merawat integritas dan marwah partai. Oleh karena itu, ketegasan pimpinan PKS untuk mengajukan banding patut diapresiasi dan didukung.
Agar para kader PKS dan publik tidak terkecoh, perlu ditegaskan kembali bahwa ini bukan perseteruan pribadi antara Fahri dengan beberapa sosok pimpinan PKS, apalagi tindakan zalim terhadap Fahri sebagai pribadi. Terentang waktu yang sangat panjang – sekitar tujuh bulan – mulai dari brefing kepada Fahri pada tanggal 1 September 2015, hingga jatuhnya keputusan Majelis Tahkim yang merupakan Mahkamah Partai, berisi pemecatan Fahri dari seluruh jenjang keanggotaan PKS pada tanggal 11 Maret 2016.
Upaya-upaya kultural dan struktural dalam bingkai akhlaqul karimah dan ukhuwah – yang merupakan bagian dari jatidiri PKS – sudah maksimal dilakukan oleh pimpinan PKS sebelum keputusan berat, memecat Fahri, diambil. Setelah briefing mengenai visi, strategi dan arah pengelolaan partai, ada beberapa kali dialog, teguran dan peringatan. Dalam berbagai kesempatan tersebut Fahri menyatakan memahami dan berjanji mengikuti arahan pimpinan partai.
Ketika diminta mengundurkan diri dari posisi Wakil Ketua DPR pada tanggal 23 Oktober 2015 – karena dinilai tidak kunjung memenuhi arahan pimpinan partai – Fahri menyatakan bersedia, dan minta waktu hingga pertengahan Desember untuk membereskan beberapa urusan. Kesediaan tersebut disampaikan kembali oleh Fahri dalam pertemuan tanggal 12 Desember 2016. Bahkan Fahri menyampaikan bahwa dirinya memilih tetap berada dalam partai, meskipun ditempatkan dalam posisi apapun. Sikap loyal dan legowo yang ditunjukkan Fahri sempat menuai apresasi yang tinggi dari Ketua Majelis Syura, yang disampaikan pada berbagai kesempatan.
Namun lain di mulut lain pula perbuatan. Fahri berbalik, berkeras mempertahankan posisinya sebagai Wakil Ketua DPR dengan berbagai alasan – antara lain kemungkinan hilangnya kursi PKS di jajaran pimpinan Dewan karena kocok ulang – yang sebenarnya sudah dimentahkan oleh pimpinan PKS. Peringatan terakhir diberikan oleh Ketua Majelis Syura pada tanggal 16 Desember 2016, di mana Fahri menyatakan siap diproses berdasarkan AD/ART.
Merespon sikap keras Fahri, mau tidak mau proses hukum di internal PKS digul
irkan. Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP) melimpahkan ke Dewan Pengurus Pusat (DPP). DPP menugaskan Bidang Kaderisasi menyampaikan pengaduan ke Badan Penegakan Disiplin Organisasi (BPDO). BPDO melimpahkan ke Majelis Qadha’ (Majelis Hakim) yang kemudian mengabulkan tuntutan BPDO untuk memberhentikan Fahri dari seluruh jenjang keanggotaan PKS. Lalu BPDO menyampaikan rekomendasi kepada Majelis Tahkim yang merupakan Mahkamah Partai.
Setelah tiga kali bersidang tanpa dihadiri oleh Fahri sebagai teradu, akhirnya Majelis Tahkim mengambil keputusan pada tanggal 11 Maret 2016. Ketidakhadiran Fahri di persidangan dengan berbagai dalih, termasuk permintaannya agar seluruh proses persidangan dihentikan karena ia mempertanyakan legalitas Majelis Tahkim, dinilai bukan hanya mencerminkan pelecehan terhadap terhadap institusi, namun juga kesengajaan untuk tidak menggunakan hak membela diri secara terbuka dan bermartabat.
Dinamika perilaku setiap aktor dalam organisasi memang kerap merupakan lakon dramaturgi yang menarik. Informasi asimetris yang ditangkap publik memunculkan jurang yang lebar antara front stage dan back stage, di mana aktor berpeluang membangun citra diri yang sama sekali berbeda dari realita. Di era digital, di mana dunia nyata dan dunia maya berjalin-berkelindan begitu rupa, kesenjangan antara front stage dan back stage itu kian sumir dan sulit ditangkap mata publik.
Sebuah citra sejatinya adalah sebuah keyakinan. Dan berlakulah adagium “we see what we are supposed to see”. Berbagai postingan Fahri di media sosial – kisah heroik perjuangan, romantika ukhuwah masa lalu, hujatan pada pimpinan PKS yang diposisikan sebagai “sang penzalim”, hingga harunya puisi cinta – kian menebalkan kabut itu. Belum lagi orasi Fahri yang memang kerap mengguncang.
Bagi sebagian kalangan – publik eksternal dan kader PKS – Fahri adalah sosok anggota parlemen yang tegas dan berani bersikap. Citra tersebut membuat mereka melihat pembangkangan Fahri terhadap pimpinan PKS sebagai perlawanan terhadap kezaliman. Dengan setting itu, di mata mereka Fahri tampil sebagai victim sekaligus hero. Dalam kondisi demikian emotional hijacking menjadi keniscayaan. Pembajakan atas prefrontal cortex oleh amygdala menjadikan rasa kasihan bercampur kagum menyisihkan rasionalitas dalam mengevaluasi data dan memutuskan respon. Memilah fakta dan ilusi menjadi sebuah ketidakmungkinan.
Dampaknya dahsyat! Sebagian kalangan tersebut teralihkan fokusnya dari inti persoalan yang sebenarnya sangat sederhana. Di tataran struktural, ini adalah kasus dugaan pelanggaran berat atas aturan organisasi yang dilakukan oleh Fahri sebagai kader PKS. Sebagai organisasi moderen yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip organisasi yang sehat, PKS tidak punya pilihan selain memrosesnya sesuai dengan konstitusi partai. Bisa dibayangkan betapa buruknya dampak bagi PKS jika dilakukan pembiaran, atau kasusnya direduksi menjadi konflik antarpribadi yang cukup diselesaikan melalui islah.
Di tataran kultural, ini adalah pelanggaran terhadap integritas. Dari kronologis yang termaktub dalam “Penjelasan DPP Partai Keadilan Sejahtera tentang Pelanggaran Disiplin Partai yang Dilakukan oleh Saudara Fahri Hamzah” tanggal 4 April 2016, terlihat bahwa Fahri beberapa kali melanggar komitmen, baik komitmen untuk menyelaraskan cara dan gaya politiknya dengan arah dan kebijakan partai, maupun komitmen untuk mengundurkan diri dari posisi Wakil Ketua DPR.
Berbagai manuver yang dilakukan Fahri – sejumlah pernyataannya di publik dan media sosial, maupun perlawanan terbuka yang ditunjukkannya – merupakan indikasi ketakselarasan Fahri dengan prinsip penghormatan terhadap syura dan ketaatan pada pimpinan partai, yang merupakan bagian dari nilai-nilai dasar PKS.
Fahri mungkin lupa, soliditas sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh kohesi ideasional, yaitu seberapa teguh para anggota organisasi berpegang pada seperangkat nilai dasar yang disepakati. Dalam konteks inilah sikap tegas, namun tenang, dari pimpinan PKS yang memutuskan mengajukan banding atas keputusan majelis hakim PN Jaksel yang meng
abulkan sebagian tuntutan Fahri, pantas dipuji dan didukung. Apalagi dalam penjelasan yang dirilis tanggal 14 Desember 2016, pimpinan PKS menyatakan, “hal terpenting yang harus dijaga adalah kejujuran, yang tidak boleh dinodai sedikit pun oleh syahwat untuk menang di hadapan hukum dengan segala cara”.
Dengan menunjukkan keteguhan sikap dan konsistensi tindakan, insya Allah pada akhirnya publik akan pecaya bahwa segenap jajaran pimpinan PKS dan mayoritas kader PKS tetap kompak bersatu, dan fokus pada langkah-langkah strategis untuk mengukuhkan jatidiri sebagai partai dakwah yang tangguh, cerdas dan profesional, serta berkhidmat untuk rakyat. Dengan visi sebesar itu, kasus Fahri hanyalah kerikil ujian kecil yang tidak berarti.
0 comments:
Post a Comment