Saya baca beritanya, pernyataan dari Jenderal Buwas dan Panglima TNI, ada baiknya Presiden Jokowi mendengarkan keduanya. Sebab, kian paradoks kebijakan Presiden, kegaduhan kian menjadi-jadi.
Mengawasi serbuan migrasi Cina saja sudah kedodoran, ditambah lagi dengan PP Ormas yang melegalkan asing berseliweran. Tambah lagi dengan turis Tiongkok 10 juta, dengan jumlah pasukan Dirwasdakim yang sedikit banget.
Efektif pengawasan di mana pun, menggunakan rasio. Taruhlah semua 460 ribu polisi ditambah 500 ribu tentara mengawasi 10 juta turis, ya jauh dari sekadar bisa. Ditambah lagi dengan jutaan ormas asing yang berseliweran, wauw, pasti akut. Mengawasi Cina dalam negeri saja sudah teler.
Dalam setahun niscaya model modus kejahatan segera berlimpah canggihnya dalam skala internasional dengan prototipe latent, dikendalikan asing, dan proxy war. Tak begitu bikin Indonesia menginternasional.
Baca deh Joseph Stiglizt, apa dan bagaimana Global Village. Yang harus dikuatkan dalam global village adalah nasionalisme kita. Sebab negara berubah menjadi state borderless. Negara bukan milik kita lagi, terutama negara low income seperti Indonesia, hanya jadi sapi perahan internasional dan menjadi lapangan sepak bola asing. Kita cuma jadi penonton dengan perut yang kian lapar.
Apa sih maksudnya mengimpor segala asing itu dalam kebijakan Mister President ? Mereka bukan buah-buahan lho. Mereka manusia. Untuk apa mereka diimpor ke sini ? Tak ada untungnya sama sekali. Sebaliknya resikonya jelas takkan mampu ditanggulangi oleh kepolisian yang menghadapi demo 411 dan 212 saja stres berat.
Setahu saya, agreement MEA adalah perjanjian bilateral. Itu bedanya dengan AFTA. MEA dapat ditolak. Mestinya DPR tidak mengabulkan pernohonan Presiden untuk item high risk. Karena DPR yang meratifikasinya, DPR yang harus membatalkan item-item high risk tadi.
Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman
(Mantan Anggota Komisi III DPR RI)
0 comments:
Post a Comment