Catatan KH Acumad Musta'in Syafi'i Terkait Aksi 212

Catatan KH Achmad Musta'in Syafi'i (Pakar Tafsir Pesantren Tebuireng Jombang) terkait Aksi 212 untuk Para Pemimpin PBNU]
"DAHSYATNYA ENERGI AL-MAIDAH 51"

Sekian lama KYAI toleransi sengaja "menyembunyikan mu", wahai al-Maidah 51 (menyembunyikan, tidak mau mendakwahkan bahwa haram memilih pemimpin kafir padahal sudah jadi Keputusan Muktamar XXX NU Lirboyo 1999 -red). Ternyata Pemilikmu tersinggung. Lalu, dengan cara-NYA sendiri DIA bertindak. Cukup lidah Ahok diplesetkan dan NKRI tersentak menggelegar, menggelepar.

Kita petik hikmahnya:

1. Aksi 411 dan 212 adalah bukti bahwa Allah SWT itu ada dan kehendakNya tidak bisa dibendung oleh siapapun. Pemerintah terpaksa harus mengalah, padahal sebelumnya Jokowi sudah pamer militer. Kini aksi diarahkan menjadi Doa. Ternyata malah punya daya tarik yang luar biasa. Seluruh negeri menyambut dengan nama berbeda, aksi Nusantara Bersatu, istighatsah militer dll.

Negara juga terpaksa mengeluarkan dana sangat besar untuk menfasilitasi aksi 212. Aparat di jalanan terpaksa harus menyesuaikan diri dg menggunakan simbol-simbol Islam.

Polisi pakai surban putih, membuat tim khusus bernama ASMAUL HUSNA, Polwan serentak berjilbab, Habib papan atas memimpin istighatsah pakai ikat merah-putih melilit kepala.

Mungkin Tuhan sedang menjewer telinga kita, agar selalu "putih" dalam mengemban amanat.

2. Mestinya penguasa dan para cukong sadar, bahwa negeri ini lebih banyak didirikan oleh teriakan "Allah Akbar" ketimbang "Haleluya". Umat Islam yang selama ini diam, kini sebagian kecil berani menunjukkan jati dirinya secara alamiah dan sangat militan. Inilah yang disebut "silent majority". Maka jangan coba-coba mengusik "air tenang" jika tidakingin hanyut.

3. Aksi ini sungguh peringatan, bahwa: tasamuh,tawazun, tawassut yang dislogankan NU itu perlu ditinjau kembali. Bukan pada konsepnya, tapi praktiknya. Di samping ada batasan, wajib apa pengawalan yang tegas dan bijak. Sadarlah, betapa kaum Nahdliyin diam-diam mengapresiasi aksi ini secara suka rela. Artinya, mereka sudah mulai tidak sudi dan meninggalkan gaya PBNU yang tak jelas. Sok toleransi, tapi tak ada aksi. Berdalih "RAHMATAN LIL 'ALAMIN" tapi sejatinya "ADL'AFUL IMAN"
(Lemahnya Iman -red).

Dialah Rasulullah SAW, saat pribadinya disakiti, beliau memaafkan.. tapi jika agama dinista, beliau marah besar.. Beberapa suku dan pribadi dikutuk dan dilaknat.. Mukmin beneran itu tegas-keras kepada kafir, berkasih sayang sesama mukmin,"asyidda' 'ala al-kuffar, ruhama' bainahum" (Al-Fath:29). Tapi sebagian oknum PBNU, kiai toleransi, kiai seni sekarang cenderung sebaliknya, "asyidda' 'ala al-mukminin, ruhama' bain al-kuffar".

4. Gus Mus yang membid'ahkan shalat jum'ah di jalan raya dan Kyai Sa'id yang menghukumi tidak sah sekarang diam soal shalat jum'ah di Silang Monas. Wonten punopo kiai?

Begitulah bila Fatwa beraroma dan tendensius, hanya melihat illat hukum secara pendek dan sesaat. Terlalu naif menggunakan ikhtifah fiqihuntuk kepentingan politik.

Benar, jika itu mengganggu lalu lintas. Tapi hanya sebentar dan hanya pengguna jalan yang ketepatan lewat. Setelahnya, ada maslahah sangat besar bagi umat Islam pada umumnya. 
Maslahah inilah yang tidak beliau lihat. Lagian, tradisi kita sudah biasa menutup jalan untuk majlis dzikir, istighatsah, termasuk haul Gus Dur di pesantren Tebuireng.

Gus Mus pernah mencak-mencak saat amaliah kaum Nahdliyin dibid'ahkan, tapi sekarang ganti membid'ahkan sesama muslim, "bid'ah besar". Ternyata, amunisi bid'ah yg ditembakkan Gus Mus ini lebih besar dibanding bid'ah yg ditembakkan non-nahdliyin.

Sekedar membaca sejarah, bahwa zaman Umar ibn al-Khattab, tentara Islam shalat jum'ah di jalan sebelum menaklukkan negeri futuhat. Sultan Muhammad al-Fatih shalat jum'ah di sepanjang pantai Marmara sebelum menjebol benteng Konstatinopel. Inilah awal khilafah Utsmaniyah berdiri. Sekali lagi, orang 'alim mesti melihat sisi maslahah jauh ke depan ketimbang illat "bid'ah" sesaat.

Hadana Allah.

Share on Google Plus

About Hanafi Idris

0 comments:

Post a Comment