Praktisi Teknologi Informasi, Ichwan Saychu menilai langkah pemerintah mengontrol sosial media bertentangan dengan nilai demokrasi. Menurut dia, membungkam suara-suara rakyat bertentangan dengan amanat konstitusi. Dia mengingatkan upaya itu tidak gampang, bahkan hanya sia-sia saja.
"Kontrol pemerintahan terhadap sosial media hanya untuk membungkam suara rakyat. Setelah partai politik, lembaga DPR dan media main stream dikuasai, kini giliran sosial media pun ingin dikuasai. Ini adalah bentuk pembungkaman kebebasan bersuara termasuk melalui media sosial. Jelas menabrak konstitusi," Ichwan di Jakarta, Kamis, 29 Desember 2016.
Ichwan Saychu mengingatkan bahwa pembungkaman suara rakyat malah justru bisa mengancam pemerintah itu sendiri. Sebab, jika tanpa kanalisasi, maka bisa berpotensi meledak dan rakyat akan turun ke jalanan. Padahal, melalui media sosial suara rakyat tersalurkan dan bisa didengarkan dengan efektif bagi pengamblian keputusan pemerintah.
"Boleh saja Jokowi menguasai parpol, lembaga negara, LSM dan lainnya. Tapi yang namanya suara rakyat itu murni dan tidak akan bisa dibungkam. Rakyat akan menemukan corong lainnya untuk bersuara jika sosial media dikuasai. Karena suara rakyat adalah suara tuhan. Para pejuang kemerdekaan tanpa sosial media juga bisa berjuang toh," paparnya.
Ichwan Saychu juga mengingatkan bahwa Presiden Jokowi sebenarnya menikmati keuntungan dari media sosial. Dia menyebut sejak menjadi Walikota Solo hingga sekarang di Istana, Jokowi telah memanfaatkan media sosial untuk meraih popularitas maupun memenangkan persaingan dalam Pilkada hingga Pilpres.
"Jangan karena cyber army yang pro Jokowi saat ini kewalahan terhadap cyber army yang anti Jokowi, kemudian sweeping di sosial media dilakukan. Sebab, tanpa sosial media tidak mungkin Jokowi menang. Segala hal tentang Jokowi dipopulerkan selain melalui media yah lewat media sosial. Kenapa ketika dipopulerkan oleh sosmed dia tidak protes?" imbuhnya.
Menurut Ichwan Saychu sebenarnya kegusaran pemerintah terhadap media sosial makin mempertontonkan ketidakadilan. Sebab, kontrol hanya dilakukan kepada pengguna media sosial yang mengritik pemerintah. Sedang pengguna media sosial yang pro pemerintah, meski juga berisi penghinaan kepada pihak lain tidak pernah ditindak.
"Ada ketidakadilan penguasa terhadap pengguna sosial media. Yang ditangkap itu hanya yang kritis atau bersuara keras pada pemerintah. Tuduhan pun macam-macam mulai pencemaran nama baik, penghinaan pada presiden. Sementara pihak-pihak yang dianggap pro pemerintah tidak perah diapa-apakan," tegasnya.
Saat ini, menurut dia, terjadi 'perang' antara para pendukung yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Menurut dia, banyak buzzer dan akun bayaran yang bermain, tapi tidak semuanya. Saat ini dia menilai justru masyarakat umum yang aktif menggunakan sosial media menyuarakan apa yang mereka anggap benar.
Oleh karena itu dia pun menyarankan kalau memang mau menghentikan ekses negatif dari sosial media, maka seharusnya pemerintah bisa berlaku adil dengan menutup penggunaan sosial media secara total di Indonesia.
"Kalau yang ditindak cuma yang dianggap anti pemerintah tidak adil?" tegasnya.
Ichwan Saychu juga mengingatkan pemerintah seharusnya beruntung dengan keberadaan sosial media karena bisa mendengarkan langsung rakyatnya tanpa harus blusukan. Sosial media, menurut dia, seperti halnya alat bantu yang bisa digunakan dengan baik maupun disalahgunakan.
"Maka sebaiknya diambil saja yang baik-baiknya," tandasnya.
Penulis: M. Anwar
"Kontrol pemerintahan terhadap sosial media hanya untuk membungkam suara rakyat. Setelah partai politik, lembaga DPR dan media main stream dikuasai, kini giliran sosial media pun ingin dikuasai. Ini adalah bentuk pembungkaman kebebasan bersuara termasuk melalui media sosial. Jelas menabrak konstitusi," Ichwan di Jakarta, Kamis, 29 Desember 2016.
Ichwan Saychu mengingatkan bahwa pembungkaman suara rakyat malah justru bisa mengancam pemerintah itu sendiri. Sebab, jika tanpa kanalisasi, maka bisa berpotensi meledak dan rakyat akan turun ke jalanan. Padahal, melalui media sosial suara rakyat tersalurkan dan bisa didengarkan dengan efektif bagi pengamblian keputusan pemerintah.
"Boleh saja Jokowi menguasai parpol, lembaga negara, LSM dan lainnya. Tapi yang namanya suara rakyat itu murni dan tidak akan bisa dibungkam. Rakyat akan menemukan corong lainnya untuk bersuara jika sosial media dikuasai. Karena suara rakyat adalah suara tuhan. Para pejuang kemerdekaan tanpa sosial media juga bisa berjuang toh," paparnya.
Ichwan Saychu juga mengingatkan bahwa Presiden Jokowi sebenarnya menikmati keuntungan dari media sosial. Dia menyebut sejak menjadi Walikota Solo hingga sekarang di Istana, Jokowi telah memanfaatkan media sosial untuk meraih popularitas maupun memenangkan persaingan dalam Pilkada hingga Pilpres.
"Jangan karena cyber army yang pro Jokowi saat ini kewalahan terhadap cyber army yang anti Jokowi, kemudian sweeping di sosial media dilakukan. Sebab, tanpa sosial media tidak mungkin Jokowi menang. Segala hal tentang Jokowi dipopulerkan selain melalui media yah lewat media sosial. Kenapa ketika dipopulerkan oleh sosmed dia tidak protes?" imbuhnya.
Menurut Ichwan Saychu sebenarnya kegusaran pemerintah terhadap media sosial makin mempertontonkan ketidakadilan. Sebab, kontrol hanya dilakukan kepada pengguna media sosial yang mengritik pemerintah. Sedang pengguna media sosial yang pro pemerintah, meski juga berisi penghinaan kepada pihak lain tidak pernah ditindak.
"Ada ketidakadilan penguasa terhadap pengguna sosial media. Yang ditangkap itu hanya yang kritis atau bersuara keras pada pemerintah. Tuduhan pun macam-macam mulai pencemaran nama baik, penghinaan pada presiden. Sementara pihak-pihak yang dianggap pro pemerintah tidak perah diapa-apakan," tegasnya.
Saat ini, menurut dia, terjadi 'perang' antara para pendukung yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Menurut dia, banyak buzzer dan akun bayaran yang bermain, tapi tidak semuanya. Saat ini dia menilai justru masyarakat umum yang aktif menggunakan sosial media menyuarakan apa yang mereka anggap benar.
Oleh karena itu dia pun menyarankan kalau memang mau menghentikan ekses negatif dari sosial media, maka seharusnya pemerintah bisa berlaku adil dengan menutup penggunaan sosial media secara total di Indonesia.
"Kalau yang ditindak cuma yang dianggap anti pemerintah tidak adil?" tegasnya.
Ichwan Saychu juga mengingatkan pemerintah seharusnya beruntung dengan keberadaan sosial media karena bisa mendengarkan langsung rakyatnya tanpa harus blusukan. Sosial media, menurut dia, seperti halnya alat bantu yang bisa digunakan dengan baik maupun disalahgunakan.
"Maka sebaiknya diambil saja yang baik-baiknya," tandasnya.
Penulis: M. Anwar
0 comments:
Post a Comment