Sudah ramai pemberitaan, tentang Ahok yang "kepeleset" lagi dalam acara debat pertama pasangan calon Gubernur DKI Jakarta. Ahok kembali dipersepsikan sudah menghina profesi dosen, yang dianggap hanya mampu mengajar di kampus. Profesi yang kebetulan ditekuni salah satu kandidat saingannya.
Bapak Basuki mohon membaca tulisan ringkas saya berikut, semoga bermanfaat:
Menurut saya hal di atas terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap sejarah Bangsa, dan pemahaman terhadap Undang-Undang yang ada. Sejak awal zaman kolonial, pendirian Peguruan Tinggi (PT) di Indonesia antara lain didorong untuk memecahkan masalah kesehatan di tengah masyarakat, dan bidang-bidang lain seperti teknik dan pertanian. Jadi keberadaan PT bukan hanya menghasilkan sarjana yang bisa ber"teori". Ini menuntut dosen yang berperan sebagai pendidik mereka, tidak boleh hanya tahu isi "text book", tanpa memahami situasi terkini persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsa.
Tiga peran PT tersebut biasa dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pengewejantahan amanah UU tersebut pada era awal banyak dimotori oleh mantan DOSEN dan Rektor IPB yang kemudian menjadi birokrat, Prof. Thojib Hadiwidjaja. Ya seorang dosen yang kemudian menjadi birokrat. Yang MUMPUNI, dapat saya sebutkan karena menjabat Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan pertama (persis Kemenristekdikti saat ini) pada zaman Sukarno. Kemudian beliau menjadi Menteri Perkebunan dan Pertanian di zaman Suharto. Di sela-sela peralihan rezim pemerintahan beliau sempat menjadi Duta Besar untuk Luxembourg. Saya merasa dengan jabatan sebagai Menteri Pertanian selama satu dekade sampai akhir tahun 1970-an, berbagai upaya yang dilakukan kemudian mengantarkan Indonesia mampu mencapai swasembada beras pada awal 1980-an. Ini membuktikan bahwa seorang dosen saat diberikan tugas menjadi birokrat, dapat sukses dalam menjawab berbagai tantangan dan persoalan.
Pada tahun 2005, dikeluarkan UU no. 14 tentang Guru dan Dosen. Secara jelas disebutkan bahwa dosen dievaluasi dalam menjalankan tugas bukan hanya dari kegiatan mengajar saja, tetapi juga bagaimana dia mampu melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan baik. Dengan dua tugas terakhir ini, dosen harus mampu mengidentifikasi urgensi persoalan yang harus dijawab. Kegiatan penelitian, baik riset dasar maupun terapan, harus dapat memberikan kemanfaatan, bukan sekedar "for the sake of research". Termasuk bila ia dimaksudkan untuk pengembangan disiplin ilmu, tentulah ilmu yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup manusia.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat menuntut dosen untuk bersentuhan langsung dengan persoalan terkini yang ada di masyarakat. Seperti di DKI Jakarta yang masih menghadapi berbagai persoalan semisal kemacetan, pemukiman kumuh, atau bahkan reklamasi yang diperdebatkan, seyogyanya juga dapat menjadi perhatian serius dosen, yang kemudian menjadi bahan masukan bagi Pemerintah dalam mendesain berbagai program. Saya mengkhawatirkan saat peran PT atau dosen atau pihak lain diabaikan, maka solusi untuk mengatasi berbagai persoalan tadi datang hanya dari kepala sendiri. Sudah sangat lazim kita mendengar yang disebut dengan ABGC; bahwa Akademisi (dosen, mahasiswa) bersama-sama Pelaku Usaha, Pemerintah dan Masyarakat (LSM, ormas dll.) bersama-sama mengatasi persoalan pembangunan. Sangat tidak elok salah satu pihak "melecehkan" peran dari pihak lainnya.
Terima kasih Pak Basuki, semoga ke depan Anda memahami lebih baik peran akademisi, karena tentu Anda pernah belajar dari mereka saat duduk di PT. Saat ini pun Anda bisa melihat contoh seorang dosen yang tengah menjadi birokrat dan sukses membuat daerahnya di tanah Sulawesi terang-benderang.
M. Firdaus
GB IPB
0 comments:
Post a Comment